Opini : Andre Vincent Wenas
“Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum.”- M.A.W. Brouwer
Memang Jawa Barat itu alamnya indah, tanahnya ‘Subur Makmur Gemah Ripah Lohjinawi’. Sehingga seyogianya masyarakatnya pun hidup dalam keadaan ‘Tata Tentrem Kerta Raharja’.
Namun sering terjadi ironi. Dimana suatu keadaan wilayah yang berkecukupan (berlebihan) anugerah kekayaan alamnya, malah kerap terjadi situasi sosial dimana masyarakatnya kurang daya juang, lebih bersikap nrimo tanpa daya kritis. Oke-oke saja, emang gue pikirin.
Situasi sosial seperti ini membuat suburnya praktek KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) oleh para pemimpin di daerah. Penggerogotan anggaran, lewat kongkalikong serta praktek politik perkoncoan. Toh masyarakatnya diam saja, tidak protes, tidak kritis, ya aji mumpunglah.
Sampai baru-baru ini KPK menyebutkan bahwa kasus korupsi (yang terbongkar) di Jawa Barat sudah parah! Tersiar kabar tentang adanya pemeriksaan terhadap anggota legislatif Jawa Barat periode 2014-2019. Pemeriksaan apa? Tentang dugaan keterlibatan mereka dalam kasus suap bantuan Pemprov untuk Kabupaten Indramayu tahun 2019.
Belum lama berselang kita mendengar Bupati Kabupaten Bandung Barat tercokok gegara korupsi bansos. Padahal sebelumnya, Walikota Cimahi juga baru saja dicokok KPK.
Dalam situasi pandemi dimana rakyat sedang sangat susah, korupsi bansos adalah kejahatan luar biasa. Herannya, dengan telah begitu banyaknya kasus korupsi yang terbongkar dan pejabatnya dicokok, tapi kok seperti tak ada efek jera.
Singkat cerita, Jawa Barat jadi provinsi juara korupsi.
Lalu apakah dengan melihat situasi seperti ini Tuhan masih tersenyum melihat tanah Pasundan?
Kalau kita meminjam kata SBY, pastilah Tuhan tidak senang bukan?
Tertinggi dalam praktek korupsi tingkat nasional! Lalu apakah KPK akan membuat semacam plakat “Juara Provinsi Terkorup” buat Jabar? Ini tentu ide yang sangat tidak lucu!
Dikabarkan, dalam kurun waktu 2006 sampai 2021, KPK melaporkan ada 101 kasus korupsi di Jawa Barat. Melibatkan tak kurang dari 60 pejabat daerah berbagai tingkatan. Termasuk 16 kepala daerahnya!
Urutannya begini: 1) Pemerintah Pusat: 359 kasus, 2) JaBar: 101, 3) JaTim: 85, 4) SumUt: 64 kasus, 5) DKI Jkt: 61, 6) Riau & KepRi: 51, 7) JaTeng: 49, 8) Lampung: 30, 9) Banten: 24, 10) SumSel, KalTim, Bengkulu & Papua: 22 kasus.
Jangan lupa juga, bahwa itu semua baru kasus yang terungkap, belum lagi yang masih sembunyi-sembunyi, disembunyikan, menyembunyikan diri atau saling menyembunyikan dalam kelindan konspirasi berjamaah di seluruh daerah.
Sebuah “prestasi” yang luar biasa memalukan.
Lalu pertanyaanya, kenapa prahara memalukan seperti ini bisa terus-terusan terjadi? Tentu saja bukan hanya di Jawa Barat, tapi di seluruh pemda di seantero Nusantara.
Pertama, sistem politik trias-politica yang membagi kekuasaan menjadi tiga (eksekutif, legislatif & yudikatif) tidaklah berjalan semestinya.
Bukannya pembagian kekuasaan yang terjadi tapi penyalahgunaan kekuasaan. Kolusi dan korupsi berjamaah di antara ketiga lembaga itu yang terjadi. Mereka malah saling bagi-bagi hasil dari penyalahgunaan kekuasaan!
Mekanisme ‘check and balances’, saling mengawasi saling mengimbangi tidak terjadi. Justru malah saling bermain mata agar praktek menjarah anggaran (APBD) itu berimbang pembagiannya.
Para legislator di daerah sepertinya sudah menjual dirinya, dan bak gayung bersambut maka eksekutif pun membelinya. Sementara lembaga yudikatifnya pun sudah tahu sama tahu saja.
Tak ada transparansi, semua transaksi politik dilakukan di ruang-ruang gelap balai-kota, gedung parlemen sampai ke bawah meja jaksa dan hakim di ruang pengadilan.
Soal transparansi pengelolaan APBD? Lupakan saja. Belum ada ‘political will’ sampai saat ini. Parpol yang semestinya jadi mesin politik hebat yang mendorong praktek politik yang beradab malah sering mogok, rewel dan menggerogoti. Memang menyedihkan.
Kedua, soal pendidikan politik bagi masyarakat luas. Bahwa politik itu bukanlah sesuatu yang hal yang jelek.
Lantaran yang menjijikan justru adalah kelakuan para politisi serta parpol oportunis itu, bukan politik sebagai suatu upaya mencapai kesejahteraan bersama (bonum-commune).
Masyarakat pun mesti diedukasi kembali tentang politik yang baik, termasuk juga untuk berani memberi hukuman sosial (social-punishment) pada para koruptor serta kroni-kroninya.
Ketiga, tentu saja sistem hukum yang mesti tegak setegak-tegaknya. Tidak malah menjadi arena dagang-sapi! (26/03/2021)
*Andre Vincent Wenas, Direktur Kajian Ekonomi, Kebijakan Publik & SDA Lembaga Kajian Anak Bangsa (LKAB).
Disadur dari post account FB Andre Vincent Wenas